Wednesday, August 15, 2007

Jual Perawan Rp170 Juta Demi Kuliah

Seorang gadis Inggris berusia 18 tahun menjajakan perawannya lewat internet seharga Rp 170 juta lebih.

Perempuan bernama samaran Brunette yang masih tinggal di rumah orangtuanya itu, seperti dikutip Brisbane Times, mengatakan bahwa ia ingin sekali masuk Jurusan Fisika di Universitas Salford pada September nanti, tapi keluarganya tidak memiliki uang yang cukup.

“Sebenarnya aku ingin menjaga keperawananku untuk seorang lelaki yang tepat dalam pernikahan. Tapi aku terjepit masalah keuangan,” katanya.

Dalam iklan jual-diri itu ditulis bahwa dia masih perawan, cantik, memiliki ukuran dada 34C, bermata hijau, dan bertubuh bagus. Didesak wartawan apa buktinya masih perawan, “Aku tak tahu bagaimana membuktikannya pada orang-orang, tapi percayalah, aku masih perawan,” ujarnya.

Iklan itu kemudian memancing opini publik. Ada yang menduga Brunette adalah seorang pelacur profesional dan berbohong soal keperawanannya.

Sudah banyak tawaran yang masuk, tapi dia masih bersikap hati-hati dalam memilih. “Aku harus hati-hati. Siapa tahu dia adalah seseorang yang sudah kukenal, atau jangan-jangan guruku.”

“Kalau boleh sih aku ingin dia memakai kondom,” katanya. [www.blogberita.com]


CATATAN BATAK NEWS:
Perempuan yang punya otak. Kudukung kau, nona, asalkan sekali itu saja kaujual tubuhmu dan uangnya memang kaupakai buat kuliah. Daripada perawan itu kaukasih gratis pada pacarmu yang playboy. Juga lebih baik daripada kau menjaganya hingga malam pertama bersama suamimu kelak — orang yang belum tentu bisa mencintaimu dengan jujur, atau malah jangan-jangan memukulimu begitu ia pulang sehabis mabuk dan meniduri lonte di hotel.

Apa yang kini kauperbuat secara tidak langsung menampar kami para lelaki, yang sering mencari calon istri yang masih perawan padahal kami sendiri tidak lagi perjaka.

Betapa liciknya kami lelaki; mendengungkan bahwa perawan adalah mahkota dan harta termahal bagi kaum perempuan. Bohong belaka! Itu akal bulus! Mahkota, harga diri, dan kesucian perempuan bukanlah pada kulit tipis bernama selaput dara. Kesucian tidak akan tampak oleh dokter, juga takkan bisa dinilai dari fisik semata. Kesucian bersemayam di kedalaman lubuk hati setiap manusia.

Aku pernah mengenal seorang perempuan yang dengan terpaksa menjadi pelacur dalam masa satu sampai dua tahun. Ia memiliki dua anak. Ia sengaja lari dari rumah karena suaminya terus memukulinya. Suaminya bahkan menjual sepeda motor, perhiasan, dan harta-benda yang dengan susah-payah ia kumpulkan dari warung kopinya.

Sebenarnya perempuan itu telah meminta cerai, tapi suaminya tak mau. Bahkan saudara-saudaranya sendiri ikut membuat batinnya tersiksa. Ia pun minggat dari rumah daripada terus dipukuli. Sempat ia bekerja tanpa harus meladeni nafsu hidung-belang. Sebuah perjalanan berliku akhirnya memaksanya menjadi pelacur.

Ia butuh uang; kedua anaknya butuh makan dan biaya sekolah. Uang dari para lelaki itulah yang dia kirim setiap bulan untuk anaknya.

“Aku ingin pekerjaan lain, tapi aku tak tahu harus ke mana lagi,” ucapnya, menitikkan air mata, sehabis sembahyang pada suatu siang di tempat pelacuran itu. Kubantu dia satu juta rupiah untuk pergi mencari pekerjaan lain. Sejak itu aku tak tahu apakah dia sudah bisa tinggal aman bersama kedua anaknya.

Jahat dan tidak sucikah perempuan ini? Persetan kalau engkau berkata dia perempuan murahan. Ia seorang ibu yang mulia bagi anak-anaknya.


source : http://bataknews.wordpress.com/

Monday, August 13, 2007

KAMPANYE

kampanye dari www.blogberita.com

Gus Dur: Orang Kristen dan Yahudi Bukan Kafir

Anda ingin membantah Gus Dur? Kalau aku sih tak mampu; ilmu agamaku terlalu tipis.

KH Gus DurBerikut adalah wawancara Kajian Islam Utan Kayu di Radio 68H Jakarta dengan Kiai Haji Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagaimana dikutip dari Jaringan Islam Liberal [JIL].

Keberagamaan umat Islam saat ini sering dikaitkan dengan radikalisme dan kekerasan. Apa yang salah menurut Gus Dur?

Saya rasa persoalannya adalah ketidakmengertian. Mereka yang melakukan kekerasan itu tidak mengerti bahwa Islam tidaklah terkait dengan kekerasan. Itu yang penting. Ajaran Islam yang sebenar-benarnya — saya tidak memihak paham mana pun, baik Ahlus Sunnah, Syi’ah, atau apapun — adalah tidak menyerang orang lain, tidak melakukan kekerasan, kecuali bila kita diusir dari rumah kita. Ini yang pokok. Kalau seseorang diusir dari rumahnya, berarti dia sudah kehilangan kehormatan dirinya, kehilangan keamanan dirinya, kehilangan keselamatan dirinya. Hanya dengan alasan itu kita boleh melakukan pembelaan.

Bagaimana cara menanggulangi radikalisme itu, Gus?

Ya, kita tidak boleh berhenti menekankan bahwa Islam itu agama damai. Dalam Alquran, ajaran tentang itu sudah penuh. Jadi, kita tidak usah mengulang-ulang (pernyataan) lagi bahwa Islam itu damai dan rasional. Hanya saja, memang ada sisi-sisi lain dari Islam yang kurang rasional. Tapi kalau dipikir-pikir lagi secara mendalam, jangan-jangan itu rasional juga. Jadi dengan begitu, kita tidak boleh serta-merta memberikan judgement, pertimbangan, penilaian. Jangan. Kita harus benar-benar tahu latar belakang mengapa seseorang melakukan kekerasan. Tapi biasanya, yang pura-pura (Islam) itulah yang paling keras.

Bagaimana Gus Dur mendefenisikan istilah kafir?

Mengenai pengertian kafir, muballigh kayak Yusril Ihza Mahendra saja, menteri kita itu, nggak tahu. Dulu dia pernah bilang, “Saya kecewa pada Gus Dur yang terlalu dekat dengan orang Kristen dan Yahudi. Padahal, Alquran mengatakan, tandanya muslim yang baik adalah asyiddâ’u`‘alal kuffâr (tegas terhadap orang-orang kafir).” Terus saya balik tanya, “Yang kafir itu siapa?”

Menurut Alquran, orang Kristen dan Yahudi itu bukan kafir, tapi digolongkan sebagai ahlul kitab. Yang dibilang kafir oleh Alquran adalah ”orang-orang musyrik Mekkah, orang yang syirik, politeis Mekkah”. Sementara di dalam fikih, orang yang tidak beragama Islam itu juga disebut kafir. Itu kan beda lagi. Jadi, kita jelaskan dulu, istilah mana yang kita pakai.

Banyak sekali soal khilafiah di dalam masyarakat dalam menafsirkan agama yang satu sekalipun. Apa kriteria perbedaan yang membawa rahmat itu, Gus?

Dulu, ada perbedaan antara Muhammadiyah dengan NU soal tarawih dua puluh tiga rekaat atau sebelas. Kan begitu. Semua itu sama-sama boleh. Jadi, jangan ribut hanya karena masalah seperti itu. Yang harus kita selesaikan adalah masalah-masalah pokok seperti kemiskinan, kebodohan, korupsi, dan sebagainya. Tapi itu malah yang nggak pernah diurusi. Malah yang diributkan tentang shalatnya bagaimana; sebelas rekaat atau berapa. Itu kan bukan masalah yang serius.

Mengapa ada kelompok Islam yang ingin ajaran-ajaran spesifik Islam diatur dalam hukum negara, seperti kewajiban berjilbab dan lain-lain?

Pemikiran seperti itu sebetulnya bersifat defensif. Artinya, mereka takut kalau Islam hilang dari muka bumi. Itu namanya defensif; pake takut-takutan. Sebenarnya, nggak perlu ada rasa ketakutan seperti itu. Mestinya, hanya urusan-urusan kemanusiaan yang perlu kita pegang. Adapun soal caranya, terserah masing-masing saja. Jadi orang Islam nggak perlu takut (Islam lenyap).

Coba saja bayangkan, dulu Islam berasal dari komunitas yang sangat kecil. Tapi sekarang, Islam jadi agama dunia. Agama Buddha dulu juga demikian, Kristen juga demikian. Orang Kristen dulu dimakan macan; nggak bisa apa-apa. Sama rajanya diadu dengan tangan kosong, bahkan diadu dengan singa. Toh sekarang agama Kristen jadi agama yang merdeka di mana-mana.

Begitu juga dengan Islam. Jadi, tidak usah diambil pusing. Di negara Republik Rakyat Cina (RRC) yang katanya tak bertuhan, agama Konghucu atau Buddha dalam kenyataannya tetap ada dan berkembang walau secara sembunyi-sembunyi.

Ada kesan umat Islam memusuhi seni rupa. Jangankan menggambar sosok nabi, menggambar makhluk bernyawa saja dikecam. Bagaimana Islam memandang seni rupa, Gus?

Dulu ada KH. Ahmad Mutamakkin dari Pati. Dia dituduh para ulama fikih di daerahnya telah mengamalkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum Islam. Kenapa? Dia membiarkan adanya gambar gajah dan ular di tembok masjid. Lalu tuduhan bertambah: dia anti-Islam, karena suka menonton wayang kulit lakon Dewa Ruci. Kata yang menuduhnya: orang Islam kok percaya dewa-dewi.

Memangnya kenapa; untuk nonton saja nggak boleh? Dari sana dia kan bisa mengambil teori-teori yang dia tidak cocok. Untuk itu, kita ini jangan gampang-gampang bereaksi, apalagi menganggap orang lain itu kafir.

Mengapa sering terjadi benturan klaim kebenaran antar agama-agama, bahkan dalam satu rumpun agama yang sama?

Karena kita berani-beraninya mengambil alih jabatan Tuhan, fungsinya Tuhan, kerjaannya Tuhan. Emangnya kita siapa, kok berani-beraninya. Nggak ada yang lebih tinggi daripada yang lain. Yang lebih tinggi dan lebih besar dari segalanya hanya Tuhan.

Bagaimana menentukan sikap Islam yang benar dalam kompleksitas kehidupan dunia ini?

Sikap Islam yang benar adalah sikap yang sesuai dengan ajaran pokok Islam. Ajaran pokok Islam ialah: Tuhan itu satu. Jadi kita dituntut untuk mematuhi ajaran Tuhan, saling mengasihi, dan sebagainya. Kita harus saling mengasihi antar-manusia. []

Dikutip dari Jaringan Islam Liberal.

Persetan Dengan Logika Agamamu

Puluhan tahun aku gemar memakan babi panggang sebelum kini membasuh wajah dengan air dan menadahkan tangan di atas sajadah saat memuja SANG RAJA SEGALA RAJA.

kampanye dari www.blogberita.comAku lahir lalu dibaptis di gereja. Kini mencoba salat lima waktu walau belum pernah bisa sempurna. Tapi aku tidak tergila-gila membaca Al-Qur’an atau Alkitab.

Justru otakku lebih mudah mencerna buku saku Tao-isme atau Buddha. Justru aku belum pernah mengagumi Zainuddin MZ atau pendeta yang mulutnya lancar berkotbah di layar TV. Justru aku bersimpati kepada Naipospos, salah satu tokoh Parmalim – agama pertama orang Batak warisan Raja Sisingamangaraja yang sampai kini sering “dibantai” oleh negara atas nama undang-undang.

Aku hanya ingin berpesan kepadamu, dia, mereka, dan diriku sendiri:
Jangan pernah memperdebatkan ajaran agama; jangan pernah merasa hanya dirimu yang bisa masuk surga; jangan pernah bersandiwara bagai orang suci di balik simbol-simbol dan ritual agama.

Begitu kejamnyakah TUHAN sehingga hanya seorang muslim yang saleh atau seorang nasrani yang penuh kasih yang bisa masuk surga? Lalu bagaimana jutaan manusia di zaman batu yang berbuat baik selama hidupnya ketika mereka belum mengenal gereja dan masjid?

Persetan dengan logika agamamu; TUHAN tidak sepicik yang kaupikir.

Salamku penuh damai untuk kalian semua — apapun agamamu dan siapapun nama TUHAN yang kausembah. [www.blogberita.com]

CATATAN JARAR SIAHAAN: Tulisan ini lahir setelah sepekan terakhir aku gusar membaca sejumlah blog yang membicarakan “agama kitalah yang benar; mereka itu kafir; TUHAN harus dibela sampai titik darah penghabisan.” Contohnya aku menemukan artikel di sebuah blog [tak usah kusebut di sini karena aku tak ingin anda membacanya] yang berjudul “Benar saudaraku, aku Jesus, karenanya jangan biarkan pembangunan masjid itu.”

Meskipun aku bukan seorang Kristen, tapi hatiku tersanyat membaca tulisan itu. Puluhan orang menuliskan komentarnya. Umumnya mendukung — dari situ kutebak mereka beragama Islam. Tapi ada satu-dua yang protes, misalnya dengan komentar, “Semoga Yesus memberi penerangan bagi anda” atau, “Itu bukan suara Yesus, tapi suara iblis,” — dan ini kuduga ditulis kawan beragama nasrani. Yang paling membuat batinku menangis adalah karena banyak komentar yang justru ikut mengompori dan mendukung si pemilik blog agar segera memuat lanjutan artikelnya.

Kesanku, si penulis blog sebenarnya tidak bermaksud melecehkan Yesus; ia hanya menulis sebuah cerita dengan memasukkan tokoh Yesus sebagai karakter khayalan — bukan Yesus dalam Alkitab. Tapi sayang, penulis tidak sadar bahwa umumnya orang tidak secerdas dia dalam memainkan kata-kata. Bagaimana kalau blogger Kristen membalasnya dengan artikel, “Betul saudaraku, aku Muhammad, karenanya jangan biarkan pembangunan gereja itu.”

Aku yakin, pasti ada pembaca nasrani yang tersinggung dengan artikel yang kuceritakan tadi. Apa bedanya ketika orang Islam tersinggung atas munculnya kartun Nabi Muhammad di media asing beberapa waktu lalu.

Jadi, bukankah blog seperti ini hanya akan memancing umat berbeda agama untuk bertengkar? MasyaAllah. Oh my God. Semoga Yesus, Mulajadi Na Bolon, Gusti Allah, mengampuni mereka ….

Bagiku blog-blog yang membahas agama, apalagi sampai membandingkan ajaran agama yang satu dengan lainnya, bukanlah sesuatu yang pantas ditiru. Kepada anda, pembaca BatakNews, aku ingin berpesan agar tidak membuat blog seperti itu — kecuali blog anda dibatasi aksesnya bagi kalangan tertentu/rekan-rekan anda yang seagama.

Update: Baru saja aku berselancar di internet dan menemukan lagi sebuah situs yang memprovokasi umat beragama. Awalnya, ketika membaca motto situs itu, aku berpikiran positif, karena namanya forum kebebasan berpendapat lintas-agama. Tapi setelah kubaca isinya, ya ampun, lebih parah dari blog-blog yang kusebut di atas.

Di sini kukutip tiga contoh komentar yang menjelek-jelekkan agama Islam:

1) Kalo Cola jatuh dari langit => The God Must Be Crazy Kalo Qoran jatuh dari langit => Your God Must Be Crazy Lu (muslim) pada nyembah gw 5x sehari….: “di kabah ada monyet mirip elo sergius …..kalo gak percaya cek ke sana !!”

2) Wahai para MUSLIM dan MUSLIMAH, janganlah engkau takut untuk meninggalkan islam, karena HANYA dengan meninggalkan islam, engkau akan menemukan kebenaran sejati dan kedamaian yang sesungguhnya….

3) Hmm, gua mau beli quran aja ah karena kok kertas toilet gua cepet banget abis yah?

Dan ini contoh tiga komentar yang menyerang balik ke pihak Kristen:

1) Ini dari Injil lho, kata-kata Yesus “Jangan sangka aku datang membawa damai, melainkan pedang”.

2) kami bukan seperti kamu yang mempermainkan agama, lihat aja dalam film bisa joget2 dalam gereja, bisa tembak menembak padahal itu tempat ibadat.

3) Yesus berkata begitu, jalan kebenaran dan hidup. tapi bukannya masuk syurga, cuma jalan2 aja hehehe. lagipun hanya untuk bangsa Israel aja, bukan seluruh manusia.

Sengaja kukutip sejumlah contoh di atas bukan dengan maksud membuat anda ikut-ikutan marah; tapi agar anda lebih menyadari betapa blog seperti itu tidak pantas ditiru dan dibaca. Dan perlu kuberitahukan, kalau ada pembaca BatakNews berkomentar dan membahas/memperdebatkan kutipan-kutipan di atas, aku akan menghapusnya.

Sekali lagi, aku takkan mau menyebutkan alamat situs tersebut, walaupun isinya sudah kusimpan di komputerku. Terserah kalau anda mencarinya sendiri. Aku hanya tidak ingin anda berkunjung ke sana, lalu anda baca, dan terbakarlah amarah anda. Sungguh, jika anda membacanya, kupastikan anda akan marah dan akan membalas — ini yang sama sekali tak kuinginkan.

Dan aku ingin mengatakan, siapapun yang punya website dan weblog itu, sekali pun dia mengaku seorang demokratis dan berpendidikan tinggi, dia tetaplah seorang provokator yang ingin menciptakan perang. Mungkin dia akan berkilah: “Saya kan cuma ingin agar semua orang bebas berbicara soal agama, dan saya tidak memihak agama manapun. Buktinya semua komentar saya biarkan tanpa sensor.”

Sekali lagi, pembaca BatakNews, kumohon jangan pernah membuat blog seperti itu; dan juga jangan pernah membacanya. Hatiku sangat sedih sekarang ini; kok banyak orang yang pintar tega-teganya mengelola blog seperti itu.

Bila anda memiliki blog dan sependapat untuk menolak blog yang memperdebatkan agama, silakan menyalin artikel ini dan menaruhnya di blog anda. Jangan lupa menyebutkan sumbernya: www.blogberita.com. Logo kampanye anti-blog agama di atas juga boleh anda kopi.

Salam damai — Jarar Siahaan di Tanah Batak.
soure : [www.jararsiahaan.com]

Dee: Aku Tak Suka Lagi ke Gereja, Tapi Masih Suka Baca Bibel

Sudah lama novelis Batak, Dee, merenungkan apa itu agama dan Tuhan sebelum akhirnya dia memeluk agama Buddha.

Artikel berbentuk wawancara ini dikutip Batak News dari Jaringan Islam Liberal, yang dipublikasikan pertama kali tahun 2003. Dee adalah nama pena bagi Dewi Lestari Simangunsong, penyanyi trio RSD, yang juga dikenal sebagai pengarang novel Supernova dan cerpenis. Dee menikah dengan Marcell Siahaan, yang juga seorang penyanyi.

DEWI LESTARI SIMANGUNSONG menuturkan tentang pengalaman spiritualnya. Ia menceritakan perenungan-perenungannya yang ekstrem tentang Tuhan dan gereja. Tiba-tiba, setitik sinar matahari sore masuk ke dalam gereja. Seketika itu gereja menjadi kuning semua. Bagus banget! Sampai-sampai saya merasa kalau tidak melihat matahari itu, saya akan menyesal seumur hidup.

Saya keluar, minggat dari khotbah. Saya pengin sekali melihat sinar matahari itu. Karena banyak pepohonan, akhirnya saya tak dapat melihat sinarnya langsung. Saya pergi dan kendarai mobil sampai jauh sekali dari gereja. Saya terhenti di sebuah rel kereta api. Saya menyaksikan rupa matahari yang akan turun, timbul-tenggelam. Mungkin hanya sekejap. Sekitar satu menit saja saya menikmati matahari yang saya kagumi itu. Tapi saya merasa, satu menit di rel kereta api itu jauh lebih berharga dari pada ibadah yang saya lakukan selama hidup saya.

Demikian nukilan cerita Dee Lestari, penyanyi yang juga penulis novel best seller ‘Supernova’, tentang pengalaman spiritualnya. Penyanyi bernama lengkap Dewi Lestari Simangunsong yang tersohor lewat grup Trio RSD (Rida Sita Dewi) mengungkapkan berbagai pengalaman keagamaannya dan persepsinya tentang agama dalam wawancara dengan Ulil Abshar-Abdalla pada hari Kamis, 4 September 2003.

ULIL ABSHAR-ABDALLA: Dee, dalam novel Anda banyak sekali dijumpai hal-hal yang bersifat renungan spiritual. Apa yang mendorong Anda untuk melakukan renungan-renungan semacam itu; apakah Anda pernah mengalami suatu peristiwa yang membuat terhenyak secara spiritual?

DEWI LESTARI (DEE): Sebetulnya, sejak kecil saya sudah senang melakukan perlamunan yang tendensinya ke hal-hal yang bersifat spiritual. Sejak kecil, saya memang hobi menghayal, dan sering kali saya terjebak ke dalam lamunan tentang pertanyaan-pertanyaan eksistensial-filosofis. Misalnya lamunan itu berisi: mengapa saya ada disini? Bisakah saya punya kehidupan yang lain? Neraka itu seperti apa, dan surga itu kayak apa?

Seringkali isi lamunan saya itu berada di luar cerita-cerita yang pernah saya dengar, tak sama dengan dogma-dogma yang saya pelajari, ataupun omongan orang yang umum beredar. Tapi saya memang tipe manusia yang tidak bisa dibilangin. Artinya, saya harus mencari jawaban itu sendiri, sehingga saya tak ingin cepat-cepat berpuas diri ketika membaca sebuah fenomena, atau menerima mentah-mentah sesuai dengan apa yang didiktekan orang. Saya selalu merasa bahwa pencarian spiritualitas adalah bentuk petualangan yang bersifat individual. Untuk itu, semua orang akan menjalaninya berbeda-beda.

ULIL: Apakah Anda hidup dalam lingkungan keluarga yang dapat disebut taat dalam beragama?

DEE: Ya. Ibu saya terhitung sebagai anggota majelis gereja. Selagi beliau masih ada (sekarang beliau sudah meninggal), selalu ada watch-dog moral yang mengharuskan saya pergi ke gereja dan sebagainya. Ayah saya, karena bertugas sebagai ABRI, sering berpindah-pindah tempat, sehingga kita relatif kurang banyak bertemu. Terkadang, kita hanya bertemu seminggu sekali. Tapi, ayah saya seorang yang moderat.

ULIL: Bagaimana agama diajarkan kepada Anda waktu kecil? Apakah sebagai doktrin yang penuh aturan, ancaman, horor, atau sebagai sesuatu yang menyenangkan hati anak kecil?

DEE: Sebetulnya saya tidak punya pengalaman yang traumatis dari sisi doktrin agama. Jadi menurut saya cukup menyenangkan, apalagi buat anak kecil. Ketika itu, yang paling menyenangkan adalah momentum seperti perayaan Natal. Tapi, memang lebih pada hal-hal yang bersifat seremonial ketimbang esensial. Esensi doktrin, justru saya pelajari baru-baru ini. Dulu, semuanya masih bersifat seremoni saja.

ULIL: Dalam perkembangannya, apakah Anda menemukan beberapa hal yang Anda anggap aneh atau janggal dalam doktrin agama yang pernah diajarkan pada Anda semasa kecil, sehingga menuntut Anda berpikir ulang?

DEE: Saya selalu berpikir tentang persoalan yang kelihatannya dapat ditemukan pada semua agama meski dengan kadar yang berbeda-beda, yaitu soal eksklusivitas. Soal itulah yang sedari dulu mengganggu benak saya. Saya selalu tinggal dan berinteraksi dalam lingkungan yang beragam. Teman saya datang dari agama yang bermacam-macam. Tapi ketika saya kembali ke “sekolah Minggu” atau ke gereja, di situ saya mendengar bahwa hanya orang Kristen yang akan masuk surga, dan bla-bla-bla. Ketika saya bertukar pikiran dengan teman-teman dari agama yang lain, mereka juga mengatakan hal yang sama.

Persoalan ini sama sekali tidak masuk ke dalam akal saya. Bagi saya ini paradoks. Di satu sisi kita mengatakan Tuhan Maha segalanya, Maha Esa, namun perjalanan menuju ke sana kok berkesan sangat tersekat-sekat. Banyak orang yang berpikiran eksklusif mengatakan bahwa setiap agama punya klaim kebenaran, dan di luar mereka adalah salah.

ULIL: Lantas, sejak kapan Anda mulai merasakan hal-hal yang Anda anggap janggal tadi itu?

DEE: Pada mulanya saya memulai perenungan itu dari cinta. Semuanya bermula dari konsep cinta. Kebetulan saja konsep cinta atau kasih sangat kuat dalam doktrin agama saya. Tapi kemudian saya mempelajari lebih dalam lagi. Saya melihat banyak orang yang melandaskan hubungan mereka atas dasar cinta, dan ketika cinta sedang mekar-mekarnya, sepertinya segalanya bisa terobati. Tapi di saat yang sama, cinta itu juga sangat mudah berbalik menjadi racun. Saya bingung melihat fenomena itu; kenapa bisa begitu? Cinta yang tadinya begitu menyegarkan, di satu titik justru bisa mematikan.

Dualitas semacam itu saya perhatikan juga dalam pengertian kita tentang Tuhan. Jadi ada Tuhan dan ada setan. Hanya saja, setan juga diciptakan oleh Tuhan. Bagi saya, ada hal yang tidak masuk dalam otak saya dalam masalah ini. Saya bingung, kenapa bisa ada dikotomi semacam itu. Sepertinya, manusia selalu saja melihat segala sesuatu dari dualisme semacam itu. Jadi, hidup ini memang penuh paradoks. Di tengah kebingungan semacam itu, akhirnya pada penghujung tahun 1999, saya membaca sebuah buku yang termasuk international best-seller, berjudul The New Revelation: A Conversation with God karangan Neale Donald Walsch. Terus terang, buku itu membuka wawasan saya.

ULIL: Jadi fungsinya semacam pembuka kotak pandora?

DEE: Betul. Sebelumnya, saya juga sudah melakukakn perenungan-perenungan, bahkan sampai pada titik yang cukup ekstrim. Saya sempat berpikir, apakah dunia memang tercipta hitam-putih, atau jangan-jangan mata manusia saja yang melihatnya demikian, sementara Tuhan sendiri sebenarnya abu-abu. Hanya saja, ketika Dia dihampiri lebih dekat lagi, ada spektrum hitam dan putih.

Nah, begitulah kira-kira isi buku yang saya baca itu. Waktu itu, saya membelinya secara instingtif saja. Ketika itu saya sudah selesai kuliah, sebelum menyelesaikan novel Supernova yang pertama. Terus terang, saya menulis Supernova, (juga) karena tergerak setelah membaca buku Neale Danald Walsch tadi. Pada suatu malam saya merasakan semacam ekstase. Soalnya, apa yang terjadi pada Neale itu juga terjadi pada diri saya. Dari situ, saya merasa bisa berbincang-bincang dengan Tuhan dengan begitu dekat, tidak ada jarak. Dan, hidup ini sepertinya adalah doa. Jadi tidak ada yang tidak tergenggam dalam tangan Tuhan. Dari situ saya merasa bahwa sebetulnya ekslusivitas dan kompartemen-kompartemen yang selama ini saya huni, sebetulnya adalah ilusi belaka.

ULIL: Dee, membaca beberapa kutipan novel Anda seakan membawa kita membaca sebuah risalah filsafat, bukan sebuah novel biasa. Saya ingin bertanya lebih jauh: selain buku The New Conversation: A Conversation With God, buku apa lagi yang membentuk cara pandang Anda terhadap agama?

DEE: Setelah saya membaca buku itu, saya seperti mengalami kehausan yang sangat-sangat. Berpangkal dari sana, saya lalu mulai mencari banyak buku-buku lainnya. Saking hausnya, saya bisa membaca tiga buku dalam satu hari. Waktu itu saya berusaha memahami semua agama. Tiba-tiba, saya malah tertarik untuk kembali lagi ke kompartemen-kompartemen tadi, tapi dari sudut pandang yang lain. Dulu saya memandangnya dari sudut pandang orang yang berada di dalam kompartemen itu (insider), sekarang saya berusaha mencari pendapat lain dengan memakai sudut pandang orang yang sudah keluar dari sebuah kotak (outsider).

ULIL: Anda dari awal bertipe suka merenung, tapi mengapa ketika kuliah di Universitas Katolik Parahyangan, Anda memilih jurusan hubungan internasional?

DEE: Sebetulnya, itu terjadi di zaman ketika saya belum mengenal jati diri. Saya cuma melihat namanya yang menarik untuk ukuran anak selepas SMA: hubungan internasional. Kalimat itu seolah-olah mengandung magic bagi anak SMA. Baru kemudian, ketika pertama masuk kuliah, saya sadar ternyata telah menjebakkan diri ke dalam sebuah cabang ilmu yang mempelajari persoalan politik.

ULIL: Bagaimana dengan pengalaman spritual-keagamaan Anda ketika itu?

DEE: Dari tahun 1993 sampai awal 1999, dan selama kuliah, sebenarnya tidak terjadi apa-apa. Tapi ada suatu momentum menarik ketika mama saya sudah meninggal. Kala itu saya pergi ke gereja di mana saya mendengar khotbah walau sambil terkantuk-kantuk. Waktu itu, saya merasa akan berdosa kalau keluar dan tidak mendengar khotbah. Tiba-tiba, setitik sinar matahari sore masuk ke dalam gereja. Seketika itu gereja menjadi kuning semua. Bagus banget! Sampai-sampai saya merasa kalau tidak melihat matahari itu, saya akan menyesal seumur hidup.

Akhirnya saya keluar, minggat dari khotbah, karena saya pengin sekali melihat sinar matahari itu. Karena banyak pepohonan, akhirnya saya tak dapat melihat sinarnya langsung. Saya lalu memutuskan untuk melarikan mobil, pergi megejar matahari itu sampai jauh sekali dari gereja. Saya terhenti di sebuah rel kereta api. Saya menyaksikan rupa matahari yang akan turun, timbul-tenggelam. Mungkin hanya sekejap, sekitar satu menit saja saya menikmati matahari yang saya kagumi itu. Tapi saya merasa bahwa, satu menit di rel kereta api itu jauh lebih berharga dari pada ibadah yang saya lakukan selama hidup saya.

ULIL: Anda seperti meninggalkan rumah Tuhan demi menuju ciptaan Tuhan?

DEE: Betul. Di situ saya melihat apa yang disebut keagungan Tuhan, kebesaran-Nya, dan lain sebagainya begitu masuk dan meresap dalam jiwa saya selama satu menit saja, dibandingkan bertahun-tahun saya melakukan ibadah tanpa tahu saya sebenarnya sedang berbuat apa. Saya tidak mengerti tujuannya apa. Saya hanya merasa seperti robot yang disuruh-suruh ke sini-ke situ tanpa adanya inner motivation yang lahir langsung dari sisi dalam diri saya.

ULIL: Anda telah memutuskan untuk meninggalkan khotbah gereja demi melihat keagungan Tuhan dari sisi yang lain. Setelah melihat keagungan Tuhan yang sangat spketakuler itu, bagaimana jadinya perkembangan dan pertumbuhan iman Anda, khususnya dalam menjalankan kehidupan sebagai seorang Kristen?

DEE: Sekarang saya melihat iman Nasrani saya dalam arti yang sangat luas. Mungkin, saya sudah tidak tertarik lagi ketika melihat suatu agama dengan aturan-aturan fisiknya saja. Terus terang, saya tidak lagi suka ke gereja, tapi saya masih suka membaca Bibel. Sekarang saya melihat agama sebagai property pribadi. Saya juga sudah menganggap segala hal adalah ritual, segala hal adalah ibadah. Saya menganggap semua hidup saya adalah ibadah, termasuk menulis Supernova. Kalau ada yang mengganggap menulis buku adalah hobi, bagi saya itu bukan lagi sekedar hobi. Bagi saya, itu adalah suatu kebutuhan. Menulis bagi saya adalah kegiatan yang sangat ritualistik. Ketenangan yang saya dapatkan darinya tidak bisa saya bandingkan dengan apapun.

ULIL: Dee, tadi Anda bercerita kalau belajar banyak agama. Apa yang Anda temukan setelah bertandang dan mengelana melihat banyak agama?

DEE: Misi saya ketika itu adalah untuk mencari benang merah agama-agama. Jadi, saya menyisihkan segala perbedaan, dan langsung berusaha menemukan esensi dari agama-agama yang saya pelajari. Saya merasa takjub, ternyata semuanya sama secara makrifat. Secara syariat memang berlainan, dan itu menurut saya memang karena sudah adanya pengaruh kebudayaan setempat.

Ketika misalnya Islam diturunkan di jazirah Arab, tak ayal lagi pasti ada pengaruh budaya setempat yang masuk dalam aturan main-aturan mainnya. Demikian juga dengan Kristen, Hindu, Budha, dan lain sebagainya. Tetapi ketika kita menceburkan diri dan tenggelam lebih dalam lagi ke relung-relung semua agama, disitulah kita baru akan menemukan suatu kubangan besar di mana semuanya menjadi larut, semua menjadi sama.

ULIL: Setelah Anda menemukan kenyataan bahwa (esensi) semua agama adalah sama, apa yang lantas Anda rasakan; apakah Anda merasa bahwa menjadi Kristen tidak lagi bermakna?

DEE: Justru sama sekali lain. Yang saya rasakan adalah penghargaan pada baju-baju yang kita kenakan. Hanya saja saya juga sadar bahwa di balik baju itu ada satu wadah yang sama. Dan, di situlah saya merasa bahwa pertengkaran mengenai agama menjadi sangat konyol. Sebab, di situ kita justru bertengkar mengenai effect, bukan cause. Kita mempertengkarkan akibat, bukan sebabnya.

ULIL: Anda tadi menyentil soal baju-baju yang dipertengkarkan banyak orang. Anda juga telah mengelana di berbagai agama. Pertanyaan saya, siapa figur tokoh agama atau orang bijak yang Anda kagumi?

DEE: Yang membuat saya paling terkesan sebenarnya Khrisna Murti, karena dia juga orang yang melepaskan diri dari denominasi. Saya juga mengagumi Kahlil Gibran, dan juga Paramhansa Yogananda.

ULIL: Tampaknya agama Hindu sangat memikat anda. Ini terlihat dari pemakaian simbol Omkara dalam novel sampul buku Supernova Dua. Itu permintaan Anda?

DEE: Ya, itu memang permintaan saya. Tapi sebenarnya saya tidak melihat Hindunya pada saat itu. Waktu itu, saya pernah membaca salah satu penelitian sains. Dari situ, kata “om” resonansianya berkaitan erat dengan sebuah kelenjar dalam otak kita yang menurut para saintis berfungsi seperti konektor antara kita dengan Tuhan. Jadi “om” bisa mengaktivasi kelenjar tersebut. Di sinilah saya melihat adanya universalisme simbol; bahwa “om” sebetulnya tidak bisa diklaim oleh agama apapun, karena dia merupakan suatu fenomena universal.

ULIL: Apa perasaan Anda ketika diprotes Forum Intelektual Muda Hindu Dharma (FIMHD) di Bali karena Anda menyantumkan simbol Omkara/Aum yang merupakan aksara suci Brahman Tuhan yang Maha Esa dalam agama Hindu di cover novel Anda?

DEE: Itu merupakan pengalaman yang sangat berharga. Saya menjadi tahu, memang ada level-level dalam kesadaran keberagamaan yang tidak bisa dihindari. Bahwa level-level kesadaran itu memang terjadi dan ada. Bagi kalangan yang mungkin belum sampai memahami bahwa kita ini wadah yang satu, mereka akan sulit untuk menerima pengakuan bahwa “Om” itu bukan milik dia saja.

ULIL: Ada pendapat mengatakan bahwa sebenarnya Tuhan tidak membeda-bedakan agama. Yang penting bagi Tuhan adalah perberbuatan baik manusia terhadap sesama. Bagaimana konsep surga dan neraka dalam pandangan Anda?

DEE: Menurut saya, surga dan neraka sudah kita ciptakan di dunia ini. Ada orang yang menciptakan surga di dalam kehidupannya, dan ada yang malah menciptakan neraka bagi dirinya dan orang lain. Kalau ada pejabat yang korup sementara masyarakatnya menderita, berarti dia sedang menciptakan neraka. Menurut saya, jika kita justru menjauhkan surga dan neraka dengan menjadikannya sebagai tujuan yang baru akan kita capai setelah mati, sesungguhnya kita telah banyak menggabaikan hal-hal penting yang mestinya harus sudah kita ciptakan dalam hidup ini.

ULIL: Apakah Anda sedang menggemakan pemikiran Calvin?

DEE: Barangkali begitu. Menurut saya, yang nyata ada adalah jiwa yang tersesat dan jiwa yang menemukan rumahnya kembali. Mungkin, apa yang oleh pengertian umum disebut neraka, manifestasinya ada dalam jiwa yang tersesat, yang ketika meninggal dia belum tahu jati dirinya siapa: apakah dia bagian dari Sang Pencipta atau bukan. Dan soal Tuhan mungkin tidak akan menghukum, saya sebenarnya sependapat.

Bagi saya, hakikat menjadi manusia adalah bagaimana mampu menemukan jati diri sendiri dan memiliki manfaat secara horisontal bagi kehidupan sosial, serta memiliki hubungan yang baik secara vertikal dengan Sang Pencipta. Semua itu sudah terlepas dari agama (beyond religion). Agama itu kan bersifat institusional.

Kadang-kadang, orang-orang yang kita sebut menganut animisme, dinamisme, bahkan ateisme sekalipun, bukan serta merta menjadikan orang yang tidak bermoral. Orang Indian yang punya tradisi meminta izin dulu sebelum memetik setangkai daun, bisa jadi lebih beradab dari mereka yang doyan ngebohongin rakyat. [www.blogberita.com]

source : http://bataknews.wordpress.com/2007/08/08/aku-tak-suka-lagi-ke-gereja-tapi-suka-baca-bibel/

Saturday, August 11, 2007

Different Religion

Keragaman Umat Beragama

http://blontankpoer.blogsome.com/2006/05/10/
http://blontankpoer.blogsome.com/2006/08/15/muslim-penjaga-makam-yesus/

Nice to Read !!

Wednesday, August 08, 2007

LAGU DARI COLDPLAY YANG BISA MENENANGKAN JIWA DAN HATI KITA


Fix You Lyrics

Good SOng !!

Tuesday, August 07, 2007

POWER SLAVES

apa kah anda penggemar power slaves ?? band lawas tahun 90 an

silahkan download http://idnad.multiply.com/music

TTM

Tah Apa Hub ku dengan nya
Pacaran nggak tapi saling sayang
TTM mungkin tepat nya Teman Tapi Menyayangin hehehe ( PAKSA KALI PUNN ) :))
yah itu lah dia

sapa kah dia ..
tittttttttttttt ( censored) :D

FRIendStEr

Nih ADD Yah

http://www.friendster.com/farelpurba